PUISI-LPM ESENSI – Moh. Soemardono akrab disapa Mazdon adalah sosok jurnalis muda yang tak hanya pandai merangkai fakta menjadi berita, tetapi juga piawai memintal kata menjadi puisi. Di tengah kesibukannya sebagai wartawan di madura.id, Mazdon tetap memelihara napas sastra yang hidup dalam dirinya. Ia adalah penyair musiman yang menulis dengan rasa, logika, dan seringkali dengan tawa getir khas anak zaman yang sadar akan realitas.
Melalui lima puisinya yang terangkum dalam “Puisi-Puisi Soemarda Paranggana”, Mazdon menyumbangkan karya istimewanya kepada LPM ESENSI STITA. Ini bukan sekadar kumpulan bait, melainkan cermin pemikiran, keresahan, sekaligus candaan reflektif yang disampaikan dengan gaya naratif dan metafora yang nyentrik namun tajam. Sebuah kehormatan besar bagi ESENSI, karena dalam puisi-puisinya, Mazdon menghadirkan semacam jendela untuk memandang kehidupan dengan cara yang tak biasa penuh simbol, ironi, dan kelakar filosofis.
Puisi-puisi ini bukan hanya bacaan, tetapi pengalaman yang mengajak kita merenung, tertawa, bahkan mempertanyakan kembali cara kita memandang dunia. Dan melalui sumbangan karya ini, Mazdon telah menyematkan nilai lebih dalam perjalanan literasi LPM ESENSI STITA. Satu karya, banyak tafsir. Satu penyair, banyak wajah. Itulah Mazdon.
Puisi Soemarda Paranggana *)
Puisi ke 1
BERMAINLAH DOMINO
“Bermainlah domino, dan lihat bagaimana dunia disusun dari kotak-kotak persepsi. Hitam. Putih. Satu. Lima. Enam, dan, Dua titik. Joss!” katamu.
“Kau tahu, kosong itu paling tinggi di antara jari-jari para perencana,” imbuhmu, seolah sedang membagi Tuhan ke dalam bagan SWOT, dengan harapan sebagai sumbu X dan, strategi penyelamatan di sumbu Y.
Kau lempar angka serampangan, lalu berkata pelan: “Nihil itu bukan kekurangan, melainkan ruang untuk memulai konspirasi semesta.”
Aku tak paham, tapi diam-diam mencatat di pojok agenda, di sudut perasaan.
“Di hadapanku, kau dilarang curang,” sahut Man Siman.
“Harusnya kau tahu, bahwa hidup tak pernah menang. Ia hanya terus dimainkan. Sampai meja ini rusak. Sampai kursi-kursi ini terbakar di tangan orang yang kalah duluan,” imbuhnya.
“Lempar saja. Terserah, siapa dulu yang mulai. Bukankah semua angka sudah kalian simpan sendiri,” sindirku.
Kau letakkan satu kotak lagi. “Ini adalah kotak pandora,” bebermu lebih jauh.
Puisi ke 2
KAPAL LAUT DARI KARDUS DAN SPON
Pagi itu aku bangun dengan ambisi kecil: membuat kapal besar dari benda-benda yang tak pernah mengapung dalam hidup. Kardus bekas air mineral kubentuk jadi lambung kapal, spon cuci piring kuning kupasang sebagai penyeimbang keputusasaan, dan layar kubuat dari halaman ekonomi koran kemarin yang penuh kabar tenggelam.
Kau tertawa, menyebut kapalku konyol. Seolah kau pernah menaiki kapal sungguhan tanpa perlu takut badai. Tapi aku tetap mendorong kapalku ke laut: bak mandi, dengan ombak sabun dan badai busa. Ia sesekali tenggelam, sesekali terapung, sambil kugumamkan kalimat yang mungkin dicuri dari penyair pelabuhan:
“Bukankah kapal besar pun, dulunya cuma mimpi kecil yang dibiarkan basah?”
Puisi ke 3
MEMBACA BUKU AGAMA
Di pojok toko buku bekas, aku menemukan sebuah buku agama yang dijual murah karena halaman depannya hilang. Kubuka perlahan, satu per satu. Isinya larangan, perintah, larangan lagi. Diselingi catatan kaki dari orang-orang yang mengaku pernah minum teh bersama Tuhan.
Aku ingin percaya, tapi huruf-huruf di sana seperti sedang berdoa kepada dirinya sendiri. Di halaman 86 tertulis: Sayangilah sesama. Di halaman 87: Jika tidak seiman, tinggalkan. Aku berhenti membaca. Mataku kembali ke halaman kosong di awal.
Mungkin itulah halaman paling jujur. Tempat Tuhan belum sempat menulis, atau baru saja menghapus sesuatu yang terlalu manusiawi.
Puisi ke 4
BUKA SITIK JOSS
Malam itu aku membuka sedikit. Satu jendela, satu tab, satu rasa ingin tahu yang sempit tapi dalam. “Buka sitik joss,” katamu, seolah itu hanya hiburan, informasi, atau kenakalan kecil yang sudah disahkan secara budaya.
Aku mulai menggigit tautan demi tautan, seperti tikus di laboratorium kebosanan. Klik demi klik, aku tersesat di lorong-lorong cahaya yang terlalu terang untuk sebuah malam yang seharusnya diam.
Hingga akhirnya wajahku sendiri muncul, di iklan obat kuat yang menjanjikan kejayaan malam. Padahal aku hanya ingin tahu apa yang terjadi jika aku tak membuka apa-apa.
Puisi ke 5
DAPAT DOORPRIZE
Aku datang karena undangan, dan karena undian. Duduk manis di kursi plastik yang tampak seperti reinkarnasi dari ember rusak. Aku berdoa dalam diam kepada dewa setrika, atau roh kipas angin kecil, atau siapa pun yang punya hubungan dengan tisu basah.
Lalu namaku disebut dengan nada seperti sirene mini. “Nomor 42! Dapat doorprize: satu buku motivasi tanpa sampul, tanpa penulis!” Suaramu lantang, seperti sedang mencoba menyalakan lampu di ruangan yang sudah terang.
Foto-foto dengan panitia yang tampak lebih bingung daripada aku. Lalu pulang. Di rumah, buku itu kubuka. Halaman pertamanya satu kalimat saja:
“Bersyukurlah karena kau masih bisa kalah dengan elegan.”
Aku diam. Mungkin itu nasihat. Atau sumpah. Atau mungkin, hanya lelucon dari zaman yang tidak sempat disunting.
*) Soemardono Paranggana, Penyair musiman yang kini masih berproses menjadi wartawan sungguhan. Nama akrab, Mazdon. Hobi duduk dan ngopi. Jurnalis dimadura.id
Komentar