Artikel
Beranda » Blog » Tingginya Angka Perceraian di Sumenep: Karena Ekonomi atau Patriarki?

Tingginya Angka Perceraian di Sumenep: Karena Ekonomi atau Patriarki?

Table of Contents+

    LPM ESENSI ARTIKEL– Angka perceraian yang terus meningkat di Sumenep, Jawa Timur, mencerminkan permasalahan sosial yang lebih mendalam. Fenomena ini tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh sistem sosial yang terstruktur melalui norma patriarki yang masih kuat di banyak wilayah. Kedua faktor ini saling terkait dan menciptakan ketidaksetaraan dalam rumah tangga, yang pada akhirnya dapat berujung pada perceraian. Artikel ini akan membahas lebih lanjut tentang faktor ekonomi dan patriarki yang memicu tingginya angka perceraian di Sumenep, serta memberikan tinjauan sosial dan sudut pandang filsafat ilmu terkait fenomena tersebut.

     

    -Faktor Ekonomi sebagai Pemicu Perceraian

    Seperti yang dijelaskan oleh RRI.co.id, masalah ekonomi sering menjadi penyebab utama perceraian di Sumenep. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga dan tekanan finansial yang berkelanjutan sering memicu perselisihan antara pasangan suami istri. Dalam banyak kasus, ketidakmampuan suami untuk menyediakan kebutuhan keluarga atau kesulitan dalam mengelola keuangan bersama menjadi titik awal konflik yang semakin memburuk. Radar Madura melaporkan bahwa data dari Pengadilan Agama Sumenep menunjukkan bahwa masalah ekonomi menjadi alasan utama perceraian, meskipun perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga menjadi faktor signifikan yang tak bisa diabaikan.

     

    Menghidupkan Hari Jumat dengan Amalan Sunnah yang Dianjurkan

    Dalam konteks ini, masalah ekonomi bukan hanya masalah ketidakmampuan material, tetapi juga merupakan sumber ketegangan psikologis yang mendalam. Ketika kebutuhan keluarga tidak dapat dipenuhi, rasa frustrasi dan ketidakberdayaan dapat memicu perilaku kekerasan atau pembentukan pola komunikasi yang buruk dalam rumah tangga. Hal ini memperburuk kualitas hubungan, dan dalam banyak kasus, menyebabkan pasangan tidak mampu bertahan bersama.

     

    -Patriarki dan Ketidaksetaraan Gender dalam Rumah Tangga

    Selain faktor ekonomi, sistem patriarki yang masih kokoh di Sumenep juga berperan besar dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam rumah tangga. Sebagai budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil keputusan utama dalam keluarga, patriarki menciptakan perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan, terutama pada perempuan. Dalam rumah tangga yang terstruktur secara patriarkal, perempuan sering kali tidak memiliki ruang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, baik dalam masalah keuangan, pendidikan anak, maupun urusan rumah tangga lainnya.

     

    Sampah Plastik Mencemari Lingkungan

    Menurut RRI.co.id, dalam konteks ini, ketidaksetaraan gender sering kali memicu ketidakpuasan pada pihak istri. Ketidakadilan yang terstruktur ini, yang dapat berupa pembatasan peran sosial dan hak keputusan, semakin memperburuk ketegangan dalam rumah tangga. Konflik yang muncul dari ketidakadilan ini tidak hanya bersifat emosional, tetapi juga struktural, karena laki-laki sebagai kepala keluarga merasa lebih berhak menentukan segalanya, sementara perempuan sering kali tidak memiliki banyak pilihan atau kontrol atas hidup mereka sendiri.

     

    -Keterkaitan Ekonomi dan Patriarki

    Faktor ekonomi dan patriarki sering kali tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan memperburuk satu sama lain. Misalnya, dalam rumah tangga patriarkal, suami yang memegang kendali penuh atas keputusan ekonomi dapat membuat keputusan yang merugikan keluarga tanpa melibatkan istri. Ketidakmampuan suami dalam mengelola keuangan atau keputusan yang tidak bijaksana dapat memicu ketidakpuasan istri. Ketika istri merasa tidak dihargai dalam hal pengambilan keputusan ekonomi, ketidakadilan yang sudah ada dalam hubungan tersebut bisa semakin memperburuk situasi dan memicu konflik yang tak teratasi.

     

    Teknologi: Perkembangan, Dampak, dan Tantangan di Era Digital

    Bahkan dalam kondisi ekonomi yang baik sekalipun, struktur patriarkal yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang dominan dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam hubungan. Ketidaksetaraan dalam berbagi peran dan hak dalam rumah tangga menjadi akar dari ketegangan yang lebih dalam.

     

    -Tinjauan Sosial: Implikasi bagi Masyarakat Sumenep

    Dari perspektif sosial, fenomena tingginya angka perceraian di Sumenep menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan struktural dalam masyarakat, terutama dalam hal akses dan kontrol terhadap sumber daya ekonomi serta pembagian peran gender yang tidak adil. Ketimpangan ini menciptakan ketidakbahagiaan dalam rumah tangga, yang pada gilirannya memengaruhi keharmonisan keluarga dan stabilitas sosial secara keseluruhan.

     

    Masyarakat Sumenep, yang mayoritas masih memegang nilai-nilai tradisional dan kultural, menghadapi tantangan besar dalam mengubah pola pikir yang menganggap bahwa lelaki harus menjadi pemimpin tunggal dalam keluarga. Untuk menurunkan angka perceraian, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif terhadap pemberdayaan perempuan, di mana perempuan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, baik dalam ranah domestik maupun ekonomi. Pemberdayaan ini dapat mencakup pendidikan yang lebih baik, pelatihan keterampilan ekonomi, serta akses terhadap informasi dan layanan hukum yang adil.

     

    -Sudut Pandang Filsafat Ilmu: Etika Keadilan dan Hak Asasi Manusia

    Dari sudut pandang filsafat ilmu, fenomena ini dapat dianalisis melalui teori-teori keadilan sosial dan etika hak asasi manusia. Konsep keadilan yang dikemukakan oleh filsuf seperti John Rawls menekankan pentingnya kesetaraan dalam distribusi sumber daya dan hak. Dalam konteks ini, ketidaksetaraan gender yang diproduksi oleh patriarki bertentangan dengan prinsip keadilan karena perempuan tidak diberikan kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan sosial, masyarakat Sumenep perlu berfokus pada pemberdayaan perempuan dan memperbaiki struktur sosial yang ada.

     

    Selain itu, dari perspektif filsafat feminisme, Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex menyatakan bahwa perempuan sering kali dianggap sebagai “yang lain” dalam banyak struktur sosial, dan peran patriarki memperkuat pandangan ini. Untuk mencapai kesetaraan, masyarakat perlu melakukan dekonstruksi terhadap sistem patriarkal yang ada, di mana perempuan dianggap hanya sebagai pendamping atau objek dalam keluarga.

     

    -Upaya Mediasi dan Tantangannya

    Meskipun Pengadilan Agama Sumenep telah berupaya untuk menekan angka perceraian melalui mediasi, kenyataannya hanya sebagian kecil kasus yang berhasil diselesaikan. Mediasi yang gagal menunjukkan bahwa permasalahan dalam rumah tangga lebih kompleks dari sekadar ketidaksepakatan atau perselisihan yang bisa diselesaikan melalui negosiasi formal. Penyebab utama perceraian sering kali berakar pada masalah yang lebih dalam, seperti ketidaksetaraan sosial dan ekonomi yang sulit diatasi hanya dengan pendekatan hukum.

     

    Kesimpulan

    Tingginya angka perceraian di Sumenep merupakan hasil dari pertemuan antara faktor ekonomi yang penuh tekanan dan sistem patriarki yang membatasi hak perempuan. Untuk menurunkan angka perceraian, penting bagi masyarakat untuk mengubah struktur sosial yang ada, memberikan ruang lebih besar bagi perempuan dalam pengambilan keputusan, dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesejahteraan ekonomi dalam rumah tangga. Pendekatan ini harus mencakup pemberdayaan perempuan dan perbaikan dalam sistem sosial yang lebih adil. Dalam perspektif filsafat ilmu, keadilan sosial dan hak asasi manusia harus menjadi dasar dalam setiap upaya untuk menciptakan perubahan yang lebih baik di masyarakat Sumenep.

     

    Penulis*) Mujahidah Nailah 

    (Mahasiswa STIT Aqidah Usymuni)

    Artikel Terkait

    Komentar

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Bagikan