Rasa yang tak sempat terungkap oleh kata
Cerita pendek yang saya tulis, disodorkan dari kisah nyata seorang teman.
Seperti kebanyakan remaja pada umumnya, Atau jutaan manusia lain diluar sana,
Aku. Tari. Seorang lelaki remaja. Siswa kelas 1 SMA.
Dengan penamilan sangat biasa saja.
Juga pernah merasakan cinta pertama.
Seperti kata orang cinta itu dari mata turun ke hati.
Itu yang aku rasakan saat pertama kali meliat Lailatuz zah.
Cewek kelas 2, yang ku kenal saat pertama kali mengikuti ekskul basket.
Gadis berkulit putih dengan rambut panjang.
“Hai, anak baru ya” sapanya.
Saat pertama kali mengajakku ngobrol di pinggir lapangan sebelum ekskul dimulai.
“Eh iya kak. Aku Tari”
jawabku agak kaget menimpali pertanyaannya.
“Aku Ila. Semangat ya” ucap nya saat itu.
Diiringi dengan sebuah senyum yang terlihat sangat bersahabat.
Sebuah kata yang terdengar sangat merdu saat itu,
Dan sebuah nama yang akan selalu ku ingat, entah sampai kapan.
Sebuah perkenalan yang biasa saja. Tapi begiku sebuah momen yang sangat indah.
Kulewati hari-hariku di sekolah dengan penuh antusias setelah pertemuan itu.
Kata orang-orang jatuh cinta bisa menyebabkan prestasi orang menurun, tapi tidak dengaku
Karna setelah mengenalnya.
Aku selalu bersemangat untuk bersekolah.
Selalu bersemangat untuk bisa melihat dia dan menyapanya setiap hari.
Berpura-pura tidak sengaja bertemu dikantin. Bolak-balik lewat depan kelasnya berharap bisa bertemu dan menyapa dia.
Oh tuhan, aku tidak minta banyak.
Bisa melihat senyumnya saja, aku sudah bahagia.
Aku tahu ini kekanak-kanakan.
Tapi bukankah cinta bisa membuat orang berubah menjadi seperti anak kecil?
Beberapa bulan setelah pertemuan pertama ku dengannya, kami menjadi semakin dekat. Aku sering menghabiskan waktu dimalam hari dengan menelponnya.
Mengobrol panjang lebar, dan membicarakan apa saja yang bisa dibicarakan.
Membahas apa saja yang mungkin bisa membuat dia tertawa.
Ada banyak kesamaan yang kami miliki.
Kami sama-sama menyukai lagu Beatles.
Sama-sama penyuka seafood.
Sama-sama penggila kopi.
Tapi mungkin ada yang berbeda.
Aku menyukainya. Tapi entah dengan dia.
Ada hal yang lebih berat, dari sebuah rindu.
Yaitu menyimpan perasaan, tanpa adanya keberanian
sedikit pun untuk mengutarakan.
Mungkin berani untuk bilang pandanya kalau aku suka dia. Tapi aku sungguh tak punya nyali untuk membayangkan, jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya.
Waktu berlalu begitu saja. Setahun setelah mengenalnya, terasa begitu sangat cepat. Tahun ajaran sekolah akan segera berakhir beberapa minggu lagi. Kutanyakan padanya, tentang rencananya setelah lulus nanti.
“Entahlah Tari, sepertinya aku mau lanjut kuliah ke Universitas Mahardika, ikut kakak disana”
Ucapnya saat itu, yang berhasil membuat dadaku sesak
“ Kuliah ke Universitas Mahardika. Kamu gak bercanda kan? Terus nanti kita gak biasa ketemu lagi dong” tanyaku saat itu. Berharap rencananya untuk kuliah di UM hanya sebuah keinginan aku sama orang tua.
“ Bukannya setiap perjumpaan memiliki arti, karna sebuah perpisahan bukan ?” Tergantung arti yang kita tinggalkan, manis atau pahit” katamu saat itu.
Aku tahu Ila.
Aku tahu jika pada sebuah perpisahan, Tuhan sedang mengajarkan makna kesabaran pada hambanya. Aku tahu itu. Tapi apa kamu tahu. Apa yang selama ini aku simpan dalam-dalam? Apa kamu tahu sebuah rahasia yang ku kunci rapat dalam diamku? Dan apa kamu mau tahu, apa yang selama ini aku mau?
Dan seperti roda yang terus berputar. Waktu pun mengantarkan ku pada kenyataan, aku harus merelakan kepergiannya, tanpa adanya keberanian untuk mengatakan bahwa diriku mencintainya. Hari-hari kini berbeda setelah kepergianmu. Tidak ada lagi orang yang bisa membuatku semangat untuk pergi ke sekolah. Tidak ada lagi hal-hal yang bisa ku upayakan agar membuatmu tertawa seperti biasanya. Jarak memang benar-benar bisa memisahkan segalanya.
Setelah kepergianmu. Kini telpon ku jarang kau angkat seperti dulu. Sudah tidak ada lagi obrolan kita diujung telpon mengisi setiap malam. Aku mengerti, mungkin ini karena kesibukan baru mu disana.
Perlahan. Pesan-peasan yang ku kirimkan lewat chat pun sudah mulai jarang kau balas. Hingga benar-benar, kini, kita menjelma menjadi asing. Aku tahu. Aku tidak boleh menyesali kepergian dan setiap keputusanmu. Hanya saja. Aku menyesal tidak pernah belajar jujur pada setiap perasaan. Keselahanku. Menjadikanmu satu-satunya alasan segala rindu.
Seperti katamu waktu itu. Setiap pertemuan memiliki arti, karna sebuah perpisahan tergantung apa yang kita tinggalkan. Manis atau pahit. Pertemuan denganmu adalah sebuah manis yang pernah sungguh aku nikmati. Sebelum perpisahan menyuguhkan rasa pahit yang mau atau tidak harus ku telan sendiri.
Tak terasa tahu demi tahun berlalu disekolah ini tanpa mu. Aku mulai membiasakan diri, melewati banyak hari tanpamu. Hingga pada akhirnya, kelulusan SMA kembali mengantarkan ku pada perpisahan. Perpisahan pada semua hal dengan kenangan didalamnya. Termasuk tentangmu.
Setelah lulus dari sekolah, aku pun pergi ke bali untuk bekerja pada perusahaan yang direkomendasikan oleh pamanku. Hari-hari kuhabisan dengan menyibukan diri pada rutinitasku. Aku tidak lagi memikirkan segala hal tentang cinta. Karna bagiku, memang tidak akan pernah ada yang semanis cinta pertama. Dan jika ada, aku yakin rasanya tidak akan sama.
Tak terasa satu tahun sudah aku hidup di bali. Kota kedua bagiku. Kota dimana kuhabiskan waktu ku sekarang. Aku senang disini. Menghabiskan waktu dari pagi hingga sore. Lalu menikmati secangkir kopi di sebuah café setelah pulang kerja.
Seperti detik kini. Secangkir coffe latte tersaji di mejaku. Disebuah café pada sore hari yang mendung sepulang kerja. Aku menyandarkan punggungku pada sofa café tempatku duduk. Masih mengenakan kemeja kerja. Pelan-pelan kuhirup aroma wangi kopi ini. Sungguh menenangkan.
Aroma wangi kopi yang berpadu dengan lagit sore yang mendung. Perpaduan sempurna untuk melepas lelah. Kuangat cangkir kopi ku sekali lagi. Kuharap dalam-dalam wanginya, sambil memejamkan mata. Hmmm
“ Tari “
Kudengar ada seseorang yang memanggilku. Ada tepukan lembut yang aku rasakan dibahuku. Sekilas aku mengenal suara itu. Suara lembut. Yang sangat tidak asing ditelinga ku. Pelan-pelan. Kubuka mataku dan menoleh kearah suara itu.
“ Ila???? “
Gadis dengan perawakan tinggi berkulit putih. Dengan rambut sebahu yang selalu di kuncir kuda. Aku seperti bermimpi. Bisa melihatnya lagi.
“ Kamu Tari kan? Astaga lama banget gak ketemu. Gimana kabarmu sekarang? Kok bisa di bali? “
Tanyanya bertubi-tubi dengan nada antusias.
Kupersilahkan dia duduk. Lalu kami larut dalam obrolan panjang setelah itu. Obrolan panjang yang sudah lama sekali aku rindu.
“ Aku kerja disini sof, sudah 1 tahunan. “ kalau kamu kok bisa disini juga? Tanyaku yang sangat ingin tahu kabarnya sekarang.
“ Aku juga kerja disini, baru 2 bulan. Setelah lulus kuliah kemarin, aku keterima kerja disini.
“ Kok bisa ya kita kebetulan ketemu disini “ ucapanku sambil tersenyum
“ Seperti saat kebetulan kita bertemu di pinggir lapangan basket dulu ya Ila “ kataku padanya.
Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini, tuhan selalu merencanakan sesuatu, yang kita mungkin belum mengerti. Tapi ada satu hal yang aku mengerti sekarang, kali ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Takdir sudah terlalu baik, mempertemukanku pada cinta pertama. Dan apapun resikonya, sekarang aku akan belajar jujur dengan perasaan. Karna mencintai bukan hanya tentang merelakan, tapi juga, tentang menyatakan.
…………………….
Sattariyanto
*) Lahir di Sumenep. Pernah belajar di STIT Aqidah Usymuni. Aktif di komunitas Forum Komunikasi Santri Giliyang Terate (FOKSAGITA), Lentera Santri Kepulauan, (LENSA), LPM. STIT Aqidah Usymuni dan Sanggar Korek.

Komentar