Artikel/Opini
Beranda » Blog » Renungan Kemerdekaan: Kritik adalah Wujud Cinta, Bukan Ancaman

Renungan Kemerdekaan: Kritik adalah Wujud Cinta, Bukan Ancaman

OPINI – lpmesensi.org/ – Setiap tanggal 17 Agustus, langit Indonesia seakan menggaungkan kembali semangat para pejuang kemerdekaan. Mereka yang tanpa pamrih rela menukar nyawa demi satu kata yang kini sering kita anggap remeh: merdeka.

Namun, benarkah kita telah memaknai kemerdekaan ini dengan benar? Atau jangan-jangan, kita justru sedang menjauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa?

Zaman telah berubah. Penjajahan fisik memang telah usai, tetapi tantangan terhadap kemerdekaan dalam bentuk yang lebih halus justru kini hadir dari dalam.

Ketika rakyat menyuarakan kritik terhadap pemerintah, tak sedikit yang justru dianggap menyebar kebencian, mengguncang stabilitas, atau bahkan mengancam keamanan negara.

Padahal, tak selamanya kritik itu bersifat permusuhan. Justru, di balik kritik yang tajam, sering tersembunyi rasa cinta dan harapan yang besar terhadap negeri ini.

Santri dan Alumni Padati Maulid Nabi serta Haul Muassis di Ponpes Aqidah Usymuni

Kritik bukan bentuk penghinaan, melainkan bentuk kasih sayang. Sebab manusia sejatinya membutuhkan koreksi, bukan pujian.

Pujian yang berlebihan bisa memabukkan, meninabobokan, dan pada akhirnya menumbangkan. Sebaliknya, kritik yang sehat bisa menjadi bahan bakar perubahan. Ia menyakitkan, ya. Tapi justru karena menyakitkan, kritik punya kekuatan untuk menyadarkan.

Rasa hampa dan kecewa wajar dirasakan rakyat ketika suara mereka tak didengar. Rakyat membayar pajak, mereka patuh terhadap hukum, tetapi kerap merasa tak mendapatkan hak yang sepadan.

Jalan rusak, harga pangan melonjak, akses pendidikan dan kesehatan tersendat. Lalu ketika rakyat bersuara, mengapa negara seakan alergi terhadap kritik?

Negara ini dibangun atas dasar kebersamaan. Kita adalah manusia sosial, saling membutuhkan dan saling menguatkan. Maka ketika rakyat mengkritik, itu bukan karena mereka membenci negaranya—mereka justru sedang menjaga dan mencintainya. Pemerintah yang sehat bukan yang antikritik, melainkan yang terbuka terhadap masukan.

Peserta KPM Posko 1 Gandeng Bidan dan PKK Desa Gelar Sosialisasi Penyakit Campak

Pemerintah yang kuat bukan yang mudah tersinggung, melainkan yang mampu mendengar dengan lapang dada.

Mari kita renungkan, menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, kemerdekaan bukanlah akhir dari perjuangan, tetapi justru awal dari tanggung jawab. Tanggung jawab untuk menjaga amanah para pahlawan, yang telah mengorbankan darah dan nyawa demi negeri ini.

Jangan biarkan semangat mereka memudar hanya karena ego kekuasaan dan ketakutan terhadap kritik.

Karena bangsa yang besar bukanlah bangsa yang takut dikritik, melainkan bangsa yang mampu tumbuh dari kritik itu sendiri.

…………………….

Aksi Mahasiswa Cipayung Plus: Demokrasi Sekarat, HAM Terancam

Ainur Rahman

*) Presma STITA Sumenep, aktif di organisasi mahasiswa LPM Esensi STITA

Artikel Terkait

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bagikan